Koyo Cabe Ukuran A4 - Part 19


Backsound : Come and Go by "Euphoria" #Enjoykeun

Kami tiba di pos lapor jalur Bayongbong sekitar pukul 8. Desa Pamalayan namanya. Hanya ada warung dengan seorang Ibu disana. Saya sempat tidak yakin itu pos lapor, tidak ada peta atau pun benda lain yang menunjukan bahwa tempat itu suatu pos.

Kami pun mengisi catatan dan membayar retribusi seikhlasnya. Cikuray bukan taman nasional, jadi bebas kapanpun mau mendaki tidak masalah, tidak ada biaya pendakian, dan tetek bengeknya. Negatifnya, jelas, jika ada hal-hal yang tidak diinginkan, maka penanganannya lama dan mengandalkan warga sekitar.

Saya membuka lembar sebelumnya, dan alangkah kagetnya, Saya melihat pendakian terakhir dilakukan terakhir desember menjelang Tahun baru. Saya hanya beropini mungkin banyak pendaki yang tidak lapor atau tidak tahu ada pos. Atau bukunya ada dua.

“Bu jarang yang lewat kesini?” Isan bertanya pada Ibu Pos.

“yah, jarang-jarang, itu juga weekend..”

“susah bu jalur sini..’

“nggak,, cepet jalur sini mah 3 jam sampe..”, jangan dipercaya jika warga local yang bicara

“sepi yah bu”

“iya , apalagi sejak ada kejadian yang hilang itu sempet sepi banget cikuray..”

“wah ada yang hilang Bu?”, Eng antusias soal beginian.

“iya cewe, ga ketemu sampe sekarang jasadnya juga..”

Muka kami pucat kecuali Isan dan Eng. Setelah re-check perlengkapan. Dan menambah jumlah air minum kami pun melaju. Masing-masing membawa 1 botol air mineral besar dan 1 botol kecil.

Setelah berdoa kami pun berjalan. Dari warung tersebut, kami berjalan kearah timur, single track jalanan semen, dari sini sudah menanjak. Baru saja 100 meteran, kami sudah membuka botol. Kampret. Cuaca tidak terlalu cerah namun cukup lumayan, Bila menggoyang-goyangkan jilbabnya, Eya bersandaran di pohon pisang, Andri duduk, Eng dan Isan setel rokok dengan nikmatnya.

Perjalanan dilanjut, jalanan semen lama-lama berubah jadi batu, ada beberapa bonus ketika belokan mengarah ke selatan atau utara, tapi tetap begitu arah kami menuju timur yang merupakan arah tegak lurus Cikuray, jalanan menanjak sudah menanti. Kanan – kiri didominasi tanaman kentang milik warga Pamalayan.

Sekitar setengah jam, Jalanan mulai menjadi tanah, di beberapa titik ditemukan genangan air.

“Bey ini gini terus sampe atas?”, Bila yang jalan di depan Saya mulai mengeluh.

“Nggak bey di depan ada kereta gantung kok, bayar 15 rebu, langsung sampai..”

“Ihhh….”

“Kamu capek??..” . Disini saya berniat mengeluarkan ajian “jep gendong kemana-mana”. Namun karena Jin jin gimbal berbaju hijau-merah-kuning nya ada di dasar kawah papandayan juga karena saya sudah duluan menggendong carrier, akhirnya tidak jadi.

“diem dulu yah.. pijitin punggung bentar bey”

Kami pun istirahat lagi. Isan dkk dengan sabar menunggu. Hanya Eng yang tidak berhenti, dia beralasan mencari tempat yang lebih enak untuk duduk. Sepintas saya lihat Eya tampak masih bugar. Yaiyalah lari di sabuga sambil kultum juga kuat dosky.

Hampir sejam kami berjalan, kami berasa masuk labirin kebun kentang. Pemandangannya sama saja, kentang, kentang, dan kentang. Namun, di belakang kami, barisan gunung memanjang seakan melingkari Cikuray menjadi hiburan tersendiri. Dari barat ke utara, Papandayan, Puntang, Kendang, Darajat, dan gunung-gunung yang tidak tahu namanya. Di utara kompleks pegunungan Guntur yang botak sangat menggoda.

Pohon-pohon besar sudah terlihat ketika jam menunjukan pukul 11 siang lebih 37 menit 54 detik. Vegetasi hutan sudah cukup dekat, namun satu tanjakan sebelum gerbang hutan cukup menciutkan. Curam dengan tiada pegangan di kanan kirinya.

Seperti Keong kurap dan penuh jerawat. Perjalan satu level dibawah kata santai. Tidak ada di kamus.Bila minta rehat lagi. Kalau dia tidak lucu, Saya tidak akan menurutinya. Dia lucu sekali waktu memohon rehat dan bilang “Bey”. Eya masam. Mungkin Bila mulai membuatnya kesal dengan rehatnya yang keseringan, bukan iri. Belum selesai sampai disitu.

“Bey pengen pipis, ada WC gak sih?”, Entah Bila sudah lelah atau memang dia polos.

“entar abis tanjakan ini ada Rest Area, ada alfamart sama J.Co…”

“Ih bey atuh ihh udah gak tahan..”

“yaudah kita nyari saung di kebun warga dulu, sekalian ngisi jerigen.”

Eng muncul dari bawah. Saya sempat kaget, Eng tadi sudah duluan. Namun mukanya memerah bergaris-garis, menunjukan dia sudah tidur siang.

“eh sori bro ketiduran tadi di saung”, Eng dengan polosnya. Inilah Eng dengan dengkul racing-nya, namun finish selalu bersama. Pernah satu saat berdua dengan Isan naik Merbabu, Eng minta rehat tidur dulu, “5 menit lagi nyusul”. Isan sudah sampai puncak, bikin tenda, tiduran,masak, gali kubur, futsal, maen PS,, Eng baru sampai.

“bejattt, gimana kalo pisah, tenda kan di elu bidzi..” Isan marah.

“peace…”, eng mengacungkan telunjuk dan jari tengah.

Eng pun menunjukan Saung peristirahatannya, Kami pun beristirahat, ngopi, sambil shalat dhuhur jama dengan solat Ashar.

Baru kali ini, saya mendaki bareng perempuan. Jika ada yang bilang bawa perempuan ke gunung itu romantis, jangan percaya. Level kerewelan wanita kalo lagi naik gunung sama dengan tiga kali lipat menstruasi terus stok Kiranti se-Jawa sedang kosong. Bayangkan !

Setelah ISOMA, Istirahat Solat Mandiwajib, hahahha, kami pun melanjutkan perjalanan. Tanjakan sebelum batas hutan itu dilahap dengan gaya siput gagal ginjal. Santai namun tidak pasti, beberapa kali dari kami terjatuh. Hanya Eng yang sejauh ini bajunya tampak bersih seperti awal. Hujan hari kemarin membuatnya semakin licin. Tanjakan Astagfirullah Innalillahi Andri menamainya.

Memasuki hutan, jalanan yang berupa tanah bercampur akar pohon, tampak begitu eksotis. Dan kami harus melihat pemandangan itu 3 sampai 4 jam lagi. Bila sudah agak baikan, tubuhnya sudah menemukan ritme nya, langkah kakinya sudah terbiasa. Bila songong, dia ingin di depan. Formasi perjalanan diawali Eng, Bila, Isan, Andri, Eya, dan Saya jadi sweeper. Tidak banyak plang yang menunjukan pos-pos waktu itu, yang jelas kanan kiri, depan belakang kami, dari tadi pohon semua. Jalan terlihat sama.

Awal masuk hutan kami berdempetan, semakin lama jarak menjadi merenggang. Eng, Bila, dan Isan sudah tidak terlihat, yang terlihat hanya Andri dan Eya, Andri sesekali hilang di belokan-belokan kecil. Namun suara-suara kami masih bisa saling dengar.

“Ya, bentar dulu punggung aku gak enak..”, packing pasca rehat tadi mungkin kurang rapih. Carrier saya berat sebelah, dan itu membuat punggung kanan saya sakit.

“okeh, santai aja..”, Eya menyeka keringat. Ini momen seperti setelah lari di sabuga. Melihatnya keringatan membasahi bajunya, membuat isi slempak berontak meminta membuat anak. Astagfirullah.

“Eh ya di kamu ada koyo gak?”

“Ada..tapi yang biasa gak ada..mau beli dulu, nih duit nya dari aku..”, Eya kalo sedang melawak makin lucu.

“nggak deh, nuhun,, ga papa lah yang cabe juga..”

“sini aku aja yang pasangin..”

Saya pun membuka kaos Saya membelakangi Eya, momen –momen seperti ini mungkin jika di film-film sang jagoan pria menunjukkan kemachoan nya dengan memperlihatkan punggung bertato naga, tengkorak, atau sketsa mertua. Namun kali itu, Eya tidak melihat tato apapun, hanya titik hitam merah bekas jerawat dan tanda luka bekas dicakar Omar sewaktu kecil. Saya menunjukan arahnya, Eya yang pasang.

“udah..”, Eya pun mengambil posisi duduk berhadapan dengan Saya.

“makasih..,”, saya pun re-packing carrier. Lima menit kemudian koyo mulai terasa, namun sakit masih terasa, saya rasa koyo nya tidak pas.

“kayanya koyonya gak pas deh..”

“kan kamu yang nunjukin”, Eya sewot. Tapi tetap manis.

“iya.. nggak kalo aku yang pasang pun pasti gak pas hehehe..”

“bener juga , kalo dipikir-pikir , aku juga kalo masang koyo kok ngerasanya gak pas di posisi yang di pengenin..” Eya antusias.

“nah..jarang kan masang koyo sekali jadi pas dan nyaman..”

“kaya nyari pasangan hidup yah hahhaha..” , eya tertawa.

“Maksudnya gimana? Jarang pas sekali jadi gitu..”

“Iya ada aja gitu kurangnya..”

“Filosofi Koyo kali yah namanya..hhhaahhaha”

“kalo pengen pas mah, pake koyonya ukuran A4 atau ga folio, nah entar baru bagian yang dirasa gak sakitnya, dipotong pake gunting..” Saya tertawa keras mendengar Eya berseloroh.

“peluang usaha baru tuh, bikin koyo ukuran A4, pasti laku”

“laku dari hongkong, ribet”

“bisa lah, dipake draf skripsi juga bisa, ntar kalo missal dosen pembimbing gak acc, tempelin ke mukanya langsung”, Obat gila saya ketinggalan di rumah.

“Iya ntar skripsinya juga biar awet ga dimakan rayap..”

“ eh ya, aku mau dong jadi koyo yang menghangatkan malam-malammu..”, gombalan murah meriah.

“boleh tapi 2 hari juga copot..” eya jawab sambil Senyum.

Eisssshhh

Setelah isi carrier tertata rapih, perjalanan dilanjutkan. Awan lebih pekat dari tadi pagi. Tidak begitu lama hujan pun turun, tidak terlalu deras. Ditambah rapatnya hutan, membuat hujan tidak terlalu menyusahkan. Kali itu, entah keberapa kali Saya berada antara dia dan hujan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Koyo Cabe Ukuran A4 - Part 4

Koyo Cabe Ukuran A4 - Part 18