Koyo Cabe Ukuran A4 - Part 22


Backsound : September – “Earth, Wind, & Fire” #StandarkeunMang #Engjoykans

Kayu-kayu terkhir terbakar habis, hangat yang mendera sedikit demi sedikit berganti dingin angin lembab Cikuray yang menggigit kulit. Asap dari perapian menusuk hidung. Saya pun terbatuk-batuk, lalu bangun. Jam menunjukan setengah 5. Di pojokan antara Ka’bah dan rimbunan pohon, sesosok makhluk yang menyerupai manusia sedang sibuk mengoprek alat masak. Dan setelah diselidiki, memang dia bukan manusia, dia Eng.

Eng sang koki alam sedang membuat puding. Manusia jenis apa yang bangun sesubuh ini dan langsung membuat puding. Ya, Eng membuat pudding hanya mengandalkan sendok saja. Tidak ada mixer untuk mengocok telur dan tepung. Mungkin dia cukup ahli dalam urusan kocok mengocok. Eng beralasan bahwa cuaca dingin membantu membentuk puding lebih cepat, logis, tapi tetap saja terasa janggal.

Saya dan Eng shalat subuh terlebih dahulu. Acara dilanjut dengan penyerahan medali serta piagam penghargaan dari ketua KONI Kabupaten Bau-Bau.

….Obat mana obatttt…

Dilanjut dengan menanak nasi dan bikin air panas. matahari malu-malu muncul dari timur, Eya dkk Saya bangunkan. Alangkah indahnya deretan gunung-gunung nun jauh di timur sana terlihat berjajar, seakan satu gunung dengan gunung lainnya sedang bercakap-cakap. Slamet, Sindoro, dan Sumbing tegak lurus di timur Cikuray. Sedikit ke utara, entah apa namanya arah mata angin antara timur dan utara itu, pokoknya disana, Ciremai kokoh sendirian.

Eya dan Bila kegirangan, kagum, Saya pun ikut senang setidaknya Saya ikut serta dalam pengalaman pertama mereka naik gunung. Isan dan Andri menyusul. Kami pun larut bercampur dengan alam pagi itu, menyetubuhi udara dingin yang meragasukma. Kami naik ke Ka’bah, dan ketika berada disana, rasa lelah, keringat dan air yang berhamburan, seakan sirna.

Eng saja yang tidak ikut bergabung, Ia sibuk dengan mainannya, dan fokus utamanya hari itu adalah membuat liwet lengkap dengan lalabannya, serta capcay goreng.

Matahari mulai bergerak ke atas, awan – awan berkerumun menutupi sebagian pandangan. Kita diatas awan. Morning Coffee dan sedikit peregangan, selanjutnya membabat habis karya buatan tangan Eng.

Nasi Liwet sudah ditata di kertas nasi yang dibuat memanjang, tempe, ikan asin, capcay, sambal, dan lalaban. Kami pun mengambil posisi melingkar. Dengan diiringi doa, makanan pun dilahap. Tak lupa, puding coklat yang sejak tadi pagi diamankan di carrier Eng, dikeluarkan, itu puding ternikmat yang pernah saya makan walaupun bentuknya aneh karena dicetak di wadah yang tidak semestinya.

Setelah packing ulang, jam 10.00 Kami turun, cuaca cukup panas. Perjalanan turun lebih menyiksa menurut Saya, kaki harus mencengkeram menahan tubuh, mengerem terus menerus membuat kaki sakit, apalagi Saya di posisi paling belakang. Saya jalan paling belakang ditemani Eya, Eya tidak terlalu banyak bicara, entah capek atau ada hubungannya dengan Bila. Perjalanan turun relatif lebih cepat sekitar 2 setengah sampai 3 jam sudah sampai Desa Pamalayan. Dari sana perjalanan di tempuh dengan menggunakan mobil bak menuju jalan Raya Bayongbong. Lalu, naik elf ke Leuwipanjang.

Di Terminal Leuwipanjang, kami berpisah, Eya dan Andri ke antapani naik angkot, Eng ke Kopo, Saya dan Isan diantar Ijul yang datang menjemput Bila karena kami satu arah. Kaki pegal, punggung sakit, namun di hati masing-masing rasa senang membuncah membekas di otak.

Malamnya, Saya sedang tiduran di sofa ruang tengah ketika si YM bulat unyu mendapat chat masuk dari Eya.
“makasih Jep udah ngajak maen, makasih juga udah mau kenal sama aku, hehehehe”

Tidak ada pipi merah Eya malam itu, tidak ada permintaan penuh manja dari Bila, tidak ada kegilaan Eng. Hanya ada TV yang menayangkan berita tengah malam dan beberapa cicak balita yang berdecit sedang asyik main di tembok.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Koyo Cabe Ukuran A4 - Part 4

Koyo Cabe Ukuran A4 - Part 19

Koyo Cabe Ukuran A4 - Part 18