Koyo Cabe Ukuran A4 - Part 15


Backsound : “Sesaat Kau Hadir” – Utha Likumahua, Indonesiaan sekali-kali , Enjoy!

Minggu, Ketika bayangan tubuh terpanjang berada di arah timur.

Dina tidak ikut pergi ke Syukuran rumah Tante Yuni, Omar tidur, mereka kebagian tugas jaga rumah. Saya mengenakan kemeja batik pemberian Tante Yuni, sengaja biar senang. Bapa, Mamah, dan Saya pun berangkat.

Di Jalan, Esyiahidayah berjoget, panggilan masuk kelima dari Eya hari ini. Kelimanya tidak diangkat. Baru semalam, Saya mendengar Eya menjelaskan dengan panjang kali lebar kali tinggi tentang si Iqbal. Mungkin hari ini, dia mau menjelaskan lagi kepada Saya dengan jari-jari kuadrat kali phi … Males, lagian saya sedang nyetir.

“Itu telpon gak diangkat A?”, Bapa yang duduk sebelah saya bertanya.

“Nggak pa, tanggung lagi nyetir..”,

“kali aja penting..”, Bapa Saya mengingatkan, lalu Esyiahidayah di dashboard direnggutnya, “…Ya Halo..”

Eh busyiattt

“weweewewewwe..” suara di seberang telpon.

“Ini bapaknya Amri.. Amri nya lagi nyetir..”

“weeweweewe…”

“Oh iya iya…Wa ‘alaikum Salam..”

Esyiahidayah dilempar ke dashboard. Kasian.

“Pacar A?”, Bapa mulai kepo. Terus bapak menunjuk dua telunjuknya ke arah Saya sambil berujar “..eciiieeeeehh!” Fix, saya turunan bokap, sama sama “kurang”

“Bukan, Aa mah ga pacar-pacaran pingin fokus dulu di pendidikan sama karier..”, Saya jawab seperti sedang ditanya reporter infotainment.

“…ahhhhh apaan kerjaan maen mulu… baik kayanya, dari suaranya mah…”

Naluri orangtua kadang jarang salah. Kadang.

Akhirnya Kami sampai di kediaman Bila. Tidak banyak tamu disana, hanya sekitar 30-an dan kebanyakan Bapak-Bapak. Setelah bersalaman dengan Tamu lain serta Om Hendra dan Tante Yuni. Saya mencari tempat duduk yang nyaman dan representative. Ijul sedang sibuk mengatur sound system, hanya bisa menunjukan gestur “dadah-dadah”.

Tiba-tiba dari ruang tengah, muncul Bila membawa baki berisi sang saka merah putih, maaf, berisi kue-kue. Sedikit terhenyak, melihat Bila memakai kerudung dan baju muslimah yang sering dilihat pas lebaran, putih-putih, Manis seperti susu Indomilk. Dan beberapa wanita keanggunannya naik beberapa level kalau pakai kerudung. Melirik ke arah saya, dengan kedipan dan senyumnya yang khas. Senyumnya tidak seperti senyum pepsodent Eya yang menampilkan gigi yang berbaris rapih, senyumnya hanya menampilkan sedikit gigi seri atasnya namun bibirnya tertarik lebar hingga pipinya membentuk lekukan, tapi bukan lesung pipit, entah apa itu namanya. Senyum yang misterius, kadang terlihat sinis, tapi kebanyakan manis.

Hari itu Bila tidak sopan, baru menggoyahkan kenangan lama yang tertidur dibuai masa. Kalau Saya mau balikan, kan berabe...

Salsabila Nafisa

Saya kenal dia saat masih di SMP, kenal saat kantor ibu saya mengadakan acara liburan keluarga. Nah disana Saya kenal Tante Yuni dan Bila. Kenal biasa saja, hingga pada saat SMA, mamah janjian sama tante Yuni, kami dimasukan ke SMA yang sama, SMA 234 Bandung. Kita pun akrab dan lantas jadian.

Bila adalah jenis siswi SMA yang menjadi rebutan siswa seangkatan dan kaka kelas, cantik, bohay, dan mudah bergauli (kendati sulit digauli) . Jenis Siswi yang jika kamu bertanya mengenai identitasnya ke anak rohis yang paling cupu sekalipun, anak rohisnya bakal tahu sampai ke zodiac-zodiaknya Bila apa. Betapa bangganya Saya, ketika teman saya yang seangkatan masih sibuk mencari tahu namanya, saya sudah saling sapa. Di kantin, pas jam istirahat, ketika Bila dan geng Siswi Populer kelas 1 nya, menghampiri saya, lalu bicara “entar balik bareng aku yah”, disana ada Eng dan teman-teman yang lain. Muka mereka ketus, mirip preman pasar ditangkap satpol PP, dari punggung Saya keluar sayap, sayap pesawat boeing.
Sebenarnya jika sebelumnya Saya tidak kenal, mungkin Saya tidak akan pernah jadian, sekadar menyapa pun Saya tidak akan pernah berani. Tiga bulan kemudian, Saya jadian. Saya pun resmi jadi public enemy siswa sejagat SMA 234. Pacaran zaman SMA adalah pacaran paling indah, walaupun hanya sebatas pulang-pergi sekolah bareng dan jalan-jalan pas malam minggu.

Pacaran dengan Bila jelas meningkatkan harkat dan martabat kaum – kaum tertindas seperti Saya, setidaknya seperti itu hingga pada bulan Oktober 2008, Saya resmi kembali kepada kaum saya yang dikepalai oleh Eng.

Setelah menyajikan kue-kue, Bila memutar kembali kearah dapur, ketika tepat di hadapan Saya bila membentuk gesture ajakan, ajakan untuk ikut ke dapur (jangan su’udzon).

“Hai, Bey kamu sombong sekarang ih..”, Bila manggil masih menggunakan “bey” sambil mencubit perut saya.

“Kamu yang sombong mah, mentang-mentang punya pacar baru, yang di Bandung dilupain, huhh..”, Saya mengambil lap kering. Buat piring, bukan yang lain.

Sambil membantu Bila merapihkan meja makan, kami berbincang.

“Kamu di jilbab sekarang ?”, Saya penasaran.

“yaaa gitu lah, udah tuwir eykeu cin..”

“keren ih..”

“euhh muji, pasti ada maunya.”

“cium dong..”

“yehhh kan udah dijilbab bey, udah tobat..”

“yaudah aku yang cium gimana..”

“nggakkk…,”, tapi mukanya Bila merah, “ngobrol di belakang yuk Bey”

Kami pun mengobrol mengenai banyak hal, kuliah, pacarnya yang atlet futsal di Jogja, dan tidak lupa bergosip soal teman-teman SMA.

“eh Bey, ujian udah kelar?”

“selasa, satu lagi”

“maen yuk, masa liburan gak kemana – mana..”

“hayu, mau kemana?..”

“kemana aja bebas, yang penting rame..”

“bener terserah aku?”, disini Saya mulai berfikir mending ngajak Bila ke Papandayan daripada Eya.

“yaudah ntar abang culik neng yah..”

“culik aku sesegera mungkin…”
….

Acara pun memasuki sesi doa, Kami bergabung. Sekitar pukul 18.30 , Saya sekeluarga pamit pulang. Acara syukuran rumah pun selesai, sekarang mestinya Saya yang syukuran.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Koyo Cabe Ukuran A4 - Part 4

Koyo cabe Ukuran A4 - Part 10

Koyo Cabe Ukuran A4 - Part 19