Koyo Cabe Ukuran A4 - Part 18


Backsound : “Landslide” – versi Smashing Pumpkins kalo ada, Fleetwood Mac juga gak apa apa, #Enjoysss

Saya sedang nonton FTV siang itu. FTV itu bercerita tentang tukang ojek pria yang jadian sama wanita Direktur salah satu perusahaan besar. Yang memerankan si tukang Ojek, Vino Bastian. Yakali!. Walaupun sedikit tidak realistis, tapi FTV jelas menghibur dengan segala ketidakmungkinannya. Setidaknya FTV ini memberi harapan untuk jomblo-jomblo diluar sana untuk selalu semangat menapaki hari, disisi lain, Jomblo jomblo hina ini semakin tidak tahu diri, berharap ada wanita/pria rupawan bertemu tidak sengaja di jalan lalu jadian.

Esyiahidayah bernyanyi kali itu, tidak bergoyang, karena tidak dalam mode silent.

Eya : “Haloo.. Jep aku jadi ikut kayanya, papah ngizinin tapi harus ditemenin sepupu aku.”

Saya : “ohh yaudah gapapa , ini juga dikitan kok.. sepupu kamu cewek apa cowok?”

Eya : “Cowok, Andri, anak STIE BANTENG (Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bandung Tengah)”

Saya : “oke boleh boleh..”

Yes! Hati riang sepertinya paman datang dari desa, membawa kembang desa. apaasiii...Saya langsung mengirim rangkaian bunga ikut berduka cita ke rumah Eng dan kosan Ihsan. Berduka melihat mereka hanya bisa menatap miris di gunung nanti. Jomblo dan memprihatinkan.

Rabu, pertengahan Januari.

Saya, Eng, Isan, Eya, dan Andri sudah berkumpul di meeting point, Kosan Isan. Sambil menunggu Bila bergabung, Saya dan Isan merapikan perlengkapan yang hendak dibawa. Eng, Eya, dan Andri tidur. 2 tenda dibawa Isan dan Eng, Saya kebagian membawa makanan, berat tapi enak, bisa makan kapan saja. Jam menunjukan pukul 03.25, ketika Ijul dan Bila datang. Bila hanya mengenakan daypack biasa.
Kami bersiap-siap. Bila menyapa semua dan berkenalan dengan Eya dan Andri, tentunya setelah Eya bangun.

“Asyik ada temen cewek,,,”, Bila yang ramah bergumam.

“iya biar ga bĂȘte hehehe..”, Eya setuju.

Oh alangkah indahnya,rasa adem merebak dihati, melihat calon pacar dan mantan pacar akur. Saya berasa ganteng hari itu. Pedemeter 369%.

Ijul mengantar kami ke Terminal Cicaheum. Sepanjang jalan diisi dengan obrolan santai dan menghibur, sekadar mencoba membuat mata terbelalak di subuh hari kota bandung yang menusuk.

“Eh kaya di novel 5 cm yah.. 4 cowo, 2 cewe”, si Eng kayanya belum betul betul bangun.

Lalu dengan gaya sok cool nya menirukan monolog salah satu tokoh di novel tersebut. “hanya mata yang lebih sering liat pantat si Bila yang gede… dan kaki yang lebih jauh melangkah membuat nomor sepatu makin gede.. taruh mimpi mu 5 kilometer di atas kepalamu, mimpimu bercampur dengan awan kinton dan terbang ke negeri Swedia.. ”, Eng benar sudah bangun. Bangun dan gila seperti biasa. Roti yang dimakan Bila melayang ke muka Eng.

Perjalanan dilanjutkan dengan Elf Bandung – Garut - Cikajang, begitulah sesuai panduan dari Isan si pengikut OANC Kaskus. Saya tidur, kemarin sore sudah tidur tapi belum puas. Eya yang duduk di sisi saya, membagi satu headsetnya ke kuping Saya. Saya tidur ditemani lagu Fastball.

“Was I out of my head, was I out of my mind..
How could I ever been so blind..
I was waiting for an indication, It was hard to find
Don’t Matter what I say, Only What I do
I never mean to do bad things to you..
So quiet but I finally woke up
If you’re Sad then It’s time you spoke up too..”

Sekitar setengah tujuh pagi, kami sampai di pasar Cisurupan. Sengaja kami berangkat pagi, supaya lebih santai saja. Saya, Eng, dan Bila, masuk ke pasar, membeli bahan bahan makanan yang kurang. Eng dengan segala ketololannya mendadak jenius jika masuk pasar tradisional. Membeli bungkus kertas nasi, ikan asin, telor, sayuran, serta lalaban. Eng sang koki alam diberi wewenang penuh kalau urusan seperti ini. Eng seperti hendak membuka cabang warteg bahari diatas sana.

Ketika sedang memilih cabe di satu kios, si ibu penjual warung mungkin menyadari dari penampilan kami yang bukan orang situ.

“Aa mau naek papandayan?”

“iya bu..”, saya menjawab.

“lah aa gak tau gitu, kan jalan nya juga ditutup, ada longsor di daerah nangklak”

“hah? Masa bu?”, Bila tidak percaya.

“iya susah dibersihinnya, bakal lama,, ada jalan sih ke kebun warga tapi lebih jauh, kudu jalan kaki..”

“ohhh gimana dong bu?”

“ya paling lewat pangalengan atau lewat selatan lewat cikandang tapi jarang yang kesana..”

Kami pun lemas.

Kami segera berkumpul lalu memastikan kebenaran kabar tersebut ke polsek Cisurupan yang tidak jauh disana. Dan memang benar adanya, aktivitas seismic gunung sedang tinggi dan ada longsor yang menutupi jalan utama. Isan si penghuni OANC Kaskus, senyum saja, senyum penuh dosa. Beginilah amatir kalo naek gunung.

Memutar ke pangalengan sama saja, dengan ke Bandung lagi sebanyak 2 kali lipat. Pak polisi yang saya lupa namanya tidak menyarankan naik ke jalur Cikandang, jalurnya tidak jelas dan jarang dipakai.

“Cikuray saja atuh..”, pak Polisi memberi tawaran menarik. Cikuray di timur terlihat ditutupi awan, seperti nasi tumpeng dilumuri es krim, mengerucut hampir sempurna dan tinggi menjulang.

“yaudah saya ngobrol dulu sama yang lain..”, Saya tidak yakin. Namun, Bila yang pengen banget naek gunung dan peralatan yang kadung disewa, membuat Cikuray jadi alternative yang menarik.

Sebagai catatan, Cikuray tingginya kalau tidak salah sekitar 2800 an CMIIW, gunung tertinggi di priangan timur, tidak ada air di sepanjang jalur. Banyak gunung yang lebih tinggi, namun tanjakannya sangat lumayan tidak bisa dianggap remeh dan awan-awannya sangat khas, mirip Ciremai. Saya dan Eng pernah mendakinya lewat jalur cilawu, cukup menguras energi, jalurnya tanjakan semua, sangat jarang menemui jalan lurus apalagi alfa*mart, single track semua. Sepanjang jalan hanya pohon-pohon tinggi yang ada, minim pemandangan. Satu-satunya pemandangan, didapat hanya di puncak. Namun pemandangannya keren, sebanding dengan perjalannya.

Bila, Eng, Isan, dan Andri setuju saja. Saya dan Eya tidak setuju. Jodoh nih.. Saya beralasan Cikuray memerlukan kesiapan yang lebih dari papandayan dan juga, Bila dan Eya baru pertama naik gunung. Namun karena suara terbanyak yang diambil. Okelah, Cikuray disikat juga.

Pak Polisi pun memberi bantuan dengan meloading kami ke titik awl pendakian jalur Bayongbong. Jalur bayongbong lebih curam namun relative lebih cepat dibanding jalur Cilawu.

Bismilahhirrahmanirrohimm…

Kami pun pergi naik mobil polisi, pengalaman baru, kami seperti maling jemuran kampung yang baru dipukuli massa. Orang – orang di pinggir memandangi kami keheranan, sama dengan yang membaca tulisan ini, heran, kenapa jadi ke Cikuray?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Koyo Cabe Ukuran A4 - Part 4

Koyo Cabe Ukuran A4 - Part 19