Koyo Cabe Ukuran A4 Part-1


Koyo Cabe Ukuran A4 - Part 1

Bandung, Desember Tahun Gajah

Kuning kemerahan tercetak di atas, seakan sekomplotan malaikat sedang bermain cat di kanvas maha luas bernama langit. Beberapa layangan tampak masih bergoyang-goyang menunggu “diturunkan” azan magrib. Aneh memang, menemukan senja berwarna orange di musim hujan. Simply Temporary Peace .

Berbanding terbalik dengan kehidupan diatas, dibawah, di permukaan bumi; hiruk pikuk Bandung menyambut malam begitu terasa, kendaraan berlomba mencapai tujuan masing masing, orang bubaran kantor, Anak sekolah pulang (sekolah lah yah, masak, pulang bikin candi), ustad berangkat mengaji, dan gerobak tukang makanan kecil.

Kontradiktif, beberapa berjalan dan berkendara dengan velositas lebih rendah, berikut dari kecepatan paling maksimal 20 km/jam, pasangan boncengan pakai motor matik, kedua, anak SMA sedang pacaran jalan kaki dari dago ke D.U. kecepatan 1 Km/jam sesekali berhenti, saling pandang, cubit-cubitan, “ayang-ayangan”, berfilosofikan “Dunia milik berdua, yang lain Cuma penghuni Uranus lagi darmawisata ke Bumi”, dibelakangnya diikuti oleh sekte manusia yang mencibir atau iri lebih tepatnya terhadap kaum nomor dua, yakni mahasiswa jomblo yang minim aktivitas sehingga memilih pulang ke rumah/kosan sore hari, minum Baygon rasa Blueberry , jalan menggusur kaki sendiri dengan kecepatan 1 Km/tahun, sering kali di Jalan disusul beberapa semut dan kura-kura, “Hidup Segan Mati pasti masuk neraka”. And Here they are, posisi chart nomor satu, bertahan telah berpuluh-puluh tahun di Bandung, si oknum dengan kecepatan bergerak paling lama….ANGK*OT G*BL%G!!

“Jep…”, Suara baritone terdengar dari dalam warung. Membuyarkan keisengan menganalisis hubungan status hubungan pribadi, social, dan pekerjaan terhadap kecepatan gerak makhluk penghuni Kota Bandung.

“..Oi oi…apaan?”, timpal Saya ala anak skinhead.

“..sini bray, masuk, hujan bentar lagi…” , teriak Aa Dana, pemilik warung

“Sok tahu ah, cerah gini..”,

‘eh, aslina bero, angina juga udah beda..” balasnya intuitif, “..sini ngopi di dalem”

“..trik pemasaran yang cerdas, dari cuaca ke beli kopi paksa..”, sambil bermalasan menuju ke dalam warkop.

Akhirnya dengan penuh keterpaksaan memesan kopi hitam dan kemudian membuangnya ke dalam perut. Beberapa menit kemudian, entah kebetulan atau memang si Aa Dana merupakan keturunan Mama Loren dan Mama Suhanah, hujan turun dengan santainya.

“..nah Kan Hujan”, A Dana memicingkan matanya ke arah jalanan yang basah. Feels like a boss. Dilanjutkan dengan “…hari yang cerah bisa mendadak hujan, siapa yang tau kejadian yang bakal datang mah..saha nu apal jomblo, besoknya nikah”

“anjisss .. Lu Mario Teguh lagi nyamar men?” , sinis.

‘Hahaha” A Dana pun tertawa dan dari mulutnya keluar asap karena waktu itu dia lagi merokok, bukan debus.

Kemudian suara hujan mengalahkan volume suara kita dan The Golden Ways Goes To Warkop pun berhenti. Hanya ada suara hujan. Sambil menghisap Dji Sam Soe, aku pun sedikit kepikiran dengan kata- kata A Dana, klasik, populer, bahkan bosen didengar “Siapa yang Tahu?”

Jauh-jauh hari Rasulullah Muhammad SAW memploklamirkan kepercayaan terhadap Qadha dan Qadar (Takdir) sebagai poin keimanan nomor enam. Kompleks jika berbicara takdir, bahkan ada beberapa sekte yang menyebut dirinya beriman kepada Rukun Iman kecuali Qadha Qadar, mereka berpendapat bahwa manusia merupakan makhluk bebas yang memiliki wewenang penuh menentukan masa depannya. Aku pribadi menganggap kehidupan sudah ada yang mengatur, Qadha dalam hal ini, tapi manusia yang menentukan takdirnya-kadarnya-ukurannya. Sederhananya, katakan Tuhan akan memberi 100 ribu hari ini, takdirnya bisa dengan cara kita minta kepada orangtua, kita kerja, atau bahkan menemukannya di pinggir jalan. Tapi intinya Tuhan tahu kita bakal dapat 100 ribu hari ini. Tapi kadarnya akan berbeda; jika minta mungkin nilainya nol, tapi bekerja bisa menjadi nilai ibadah, dan sebaliknya jika lewat mencuri nilainya dosa. Dan itulah poin kita hidup di muka bumi ini. Sama seperti sore ini, Aku harus berada disini menurut kehendak Tuhan, variabelnya bisa saja bukan karena hujan, bisa karena ketika mau pulang kaki keseleo sehingga Aku bertahan di Warkop biadab ini.

“Siapa Tahu? Yang penting diam di Warkop ini ada nilai lebih buat gue, Amien”, dalam
hati.

18.45

Hujan masih belum berhenti , tapi pemikiran positif bahwa diam di Warkop akan memberi takdir yang baik mulai raib. Bosan menyambangiku. Mulai terpikir pulang, hujan-hujanan biar tidak keliatan lagi menangis. Hahaha. Tapi sirna juga, setelah dianalisis bahwa kemungkinan besoknya menjadi flu dan pH air hujan yang di bawah 7 akan menyebabkan kulit mulus ini, korosi alias berkarat. Cukup hati ini saja yang berkarat. asyedapp

Sebuah vespa (dan penggunanya) datang entah darimana, kemudian diparkir. Langit terlalu tua warnanya, bahkan muka si empu vespa tidak bisa terlihat (dan juga karena dia masih menggunakan helm full-face).

Kaget, ternyata si makhluk bervespa ini ternyata wanita, ketahuan dari roknya bukan dari visum. Rok, Helm Fullface, Vespa, dan satu lagi Sweater Manchester United, kombinasi yang aneh. Pasti tidak wajar mukanya, pikir Saya A priori.

Begitu masuk (warkop, bukan masuk yang lain-lain), dibukanya helm Fullface, bukan buka puasa.

“anjis..” , dalam hati. Ternyata mukanya tidak sesuai prediksi. Sodarah sodarah. Cantikkkk, dengan “k” yang banyak.

“a ikut neduh yah..” suara si bidadari bervespa menjadi suara manusia pertama dalam tigapuluh menit terakhir.

“Boleh neng!!”, sahut si A Dana yang sedari tadi berada di dimensi yang lain tampak sudah menjejak bumi lagi dan bola matanya tampak 3 kali lebih besar dari biasanya.

“..pesen itu dong a,,euu apa yah? Energen aja..”, tampak nada bicaranya sedikit ketus atau kesal.

“weits jangan marah-marah dong”, jargon khas si aa Dana keluar juga. “mau rasa apa, coklat, vanilla, atau rasa yang tertinggal? ..”

“coklat aja..” , sambil senyum tanpa terlihat gigi, dipaksakan. “…iya nih a lagi buru buru gini, malah ujan, tadi mah di Antapani belum hujan” sembari membuka sweater MU-nya. Dan tampaklah…..kemeja putihnya.

“Iya neng tadi sore mah cerah padahal”.

Saya hanya memainkan telepon genggam, sok sibuk, dan sok tidak antusias menanggapi padahal sedang mengeruk keuntungan dari obrolan si Bidadari bervespa dengan pria lain. Antapani, first clue. Tersenyum lebar, bertingkah seperti membaca sms, padahal Cuma tekan “menu” dan “back”, “menu”-“back”, “menu”-“back”, berulang-ulang. Mentalitas geng motor,kalau banyak teriak teriak, kalau sendirian mendadak autis.

Dan ketika sedang asyik memainkan “menu” dan “back”, Si Bidadari berujar, “emang takdirna kudu hujan sih ...”.

“iya bener, padahal saya juga harusnya ada kegiatan lain..” , mendadak antusias atau tepatnya mendadak tidak mau pura pura sok tidak antusias lagi. Karena mendengar takdir, yang sejak dari tadi aku pikirkan. Aneh, begitu ada orang yang berbicara mengenai hal yang sedang dipikirkan. Mulutku pun bertemu iramanya,’..emang harus kejebak hujan, terus ketemu bidadari deh, takdir saya hari ini”. Serangan pertama.

“hahhaha, bisa aja..” kali ini kelihatan giginya.

“ emang teteh mau kemana gitu sore-sore gini?” , bertanya sambil menunjukan gestur implicit mengusir kepada si A Dana. Setelah memberikan Energen pesanan si bidadari langsung menggali goa, trik sok sibuk khasnya.

Si Bidadari yang sedang mengecek isi tasnya,berhenti dan menjulurkan tangannya. “lah kok teteh,panggil aja Eya, nama asli sih Mahera..yah tapi kaka aku cadel, pas kecil manggil aku eya, semuanya jadi ikutan”. Nama asli dan panggilan yang aneh.

“Saya juga sama Amri, Cuma karena kaka saya cadel jadi aja dipanggil Jep .... ”, sambil berjabat tangan.

“hahhahah si aa jauh pisan…” timpalnya. Giginya lebih kelihatan lagi sampai gerahamnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Koyo Cabe Ukuran A4 - Part 4

Koyo cabe Ukuran A4 - Part 10

Koyo Cabe Ukuran A4 - Part 19