Koyo Cabe Ukuran A4 - part 12
Backsound nya the milo aja, biar makin enjoy the milo-nya yg "For All The Dreams That Wings Could Fly"
Kampus UNDUR
UAS Manajemen Keuangan dan Akuntansi Biaya hari ini cukup membunuh sekumpulan sel-sel otak Saya. Di teras depan gedung kuliah 1, beserta Isan dan teman sekelas yang lain berdiskusi dan saling membenarkan jawaban masing masing, Aktivitas yang semestinya tidak dilakukan karena hanya membuat harap cemas dan tidak bisa merubah jawaban yang tadi sudah diisi.
Sambil menghisap Dji Sam Soe, “San, jadi ke Moko teh?”
“Ayok, Ntar gua nyusul bareng sama si Eng pake sepeda, lu duluan aje sama siapa? Eya yah?”,
“Okeh, jam 5 an udah disono yah, gue cabut dulu, mo ke Cicadas dulu sekalian jemput dulu dosky”
“Siip siipp..”
Isan
Bernama lengkap Maulana Ihsan Baihaki, lulusan SMA Negeri Payakumbuh, entah nomor berapa, badannya kurus tinggi, kulit gelap mengingat hobinya beraktifitas di alam bebas, hobinya bersepeda, kemping, dan baca buku, pintar, IPK nya tidak pernah menyentuh angka 2, buku-bukunya didominasi buku filsafat dan ideologi berhaluan “kiri”, tokoh favoritnya “Nietszche” *bener gak nulis nya, menyatakan diri sebagai seorang yang bertuhan tapi tidak beragama, tapi kadang-kadang Shalat juga kalo atmnya lagi kosong.*
Saya kenal pertama kali dengan Isan, saat sedang OSPEK, satu kelompok. Ketika kebanyakan maba sibuk cari perhatian, Isan tampak cool, duduk di belakang tidak antusias, sepertinya dia sejenis dengan saya. Kikuk dalam suasana baru. Dia orang pertama yang saya ajak kenalan dari sekian banyak teman seangkatan. Masih ingat kata-kata pertamanya yang keluar,” Ihsan, payakumbuh…. Inget ya, bukan padang..”
Hanya Tuhan, Isan, dan mungkin sebagian masyarakat Payakumbuh yang ngerti maksud kata-katanya.
Pada akhirnya, Saya ngerti orang-orang sering menganggapnya dari Padang, termasuk Saya. Dan itu sangat menyinggungnya. Dia bangga dengan kampung halamannya. Mestinya, orang tuanya ngasih nama Isan Al-Fayakumbuhi, biar orang-orang inget....
Saya pun pergi meninggalkan teman-teman se-planet Saya, planet Jonesius. Menjemput penghuni bumi bernama Mahera Mustaqimah.
========
Setelah bertanya pada 3 narasumber dan berpanduankan SMS Eya, akhirnya ketemu juga dengan rumah Eya. Eya muncul dari dalam setelah saya kabari, mengenakan daster batik, kewanitaan sekali. Menyajikan air teh dan kudapan, lalu berbincang-bincang sebentar.
“eh aku mandi dulu..yah..” , Eya mohon undur diri. kok kaya pembawa acara yah
“gak usahlah, ganti baju aja,,Moko mah tiris ..”
“bentar kok, dari pagi belum mandi”
“udah unyu-unyu gini masih mau mandi..” ecieeeeh
“hahhahaha tetep aja bau, aku abis sedot tinja tadi..”
“euh pantes..yaudah gih..”
…
Duduk di kursi rotan, di teras depan. Sengaja meminta di luar, karena malas buka sepatu. Tiba-tiba, awan kelam hinggap, suhu mendadak dingin, angin kencang menggoyang asap teh panas, burung gagak lalu lalang dekat pagar…
Seorang pria paruh baya muncul dari dalam, berbaju Newcastle United, tercetak nama “SHEARER” di punggungnya, di bagian perutnya tampak kaosnya lebih ketat. Rambutnya klimis, ditangan kanannya kopi hitam, di tangan kirinya majalah Tempo.
“ehhh, mas di dalem, si Eya nggak bilang bilang ada temen…”, senyumnya manis kaya bapak Nobita. Mendadak cuaca cerah kembali,
“temen kuliah apa temen SMA?”
“nggak kok Om , kenal gak sengaja..”
“Oh , emang mas kuliah dimana?”
“UNDUR Om”
“lah om kan alumni UNDUR juga.. Akuntansi..”
“ saya manajemen om,,,”
“wihh sekampus kita ternyata…”
Alhamdulillah, obrolan mencair dan normal tanpa Saya harus mengeluarkan kegilaan Saya. Setelah membicarakan dosen senior yang masih mengajar, hobi menembaknya, dll. Pertolongan yang Maha Kuasa pun turun, Eya pun selesai mandi dan bergabung. Kali ini, jeans hitam ketat, New Balance hijau stabile (zaman itu belum se-hype sekarang), sweater berbahan katun, dan kupluk buatan brand outdoor local. Benda apapun terlihat keren tertempel di badannya.
“Hayu atuh keburu sore…”, Eya sembari nyeruput kopi papahnya. Bukan symbol ketidaksopanan, mungkin saking akrabnya. “..pah, Aku berangkat dulu..”
“Saya juga pah…eh om..”, mengiyakan ajakan Eya mumpung Saya belum kumat.
“Iya ati-ati, jangan terlalu malem, banyak geng motor…”
“gapapa om , kan geng motor nya teman saya..”, mencoba melawak.
“heuheuheu…” Si Om senyum terpaksa.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum Salam”.
+++++
Eya pun naik motor Saya, perdana. Si matik hitam yang iklan nya “semakin di depan!!!”.\
Gas!!! Jalanan kompleks nya banyak polisi tidur sesekali tangannya memegang pinggang saya, namun dilepas lagi tatkala bersua jalanan mulus. Saya memutuskan lewat jalan Bojong Koneng, relative lebih cepat, juga lebih banyak bolongnya. Hahahha.
Memasuki jalanan Bojong Koneng, jalanan cenderung rusak dan menanjak. Sedikit demi sedikit, seiring jalan yang semakin menanjak, Eya menggeser posisi duduknya. Mungkin karena takut terpelanting ke belakang, pegangannya pun sedikit menguat, bisa Saya rasakan jari-jari tangannya di perut. Dan menjelang tanjakan terakhir, yang busuk dan curam, Saya member kode, “Siaaappp???”
“Siaaappp..”, Eya berseru semangat. Di lingkarkannya kedua tangan mungil itu di perut bagian atas Saya. Posisi duduknya bergeser, sama dengan apa yang dikatakan Komeng dalam iklan si matik ini “Semakinnnn dii depppaaannn !!!!”
++++++
Moko
Eng dan Isan sedang duduk di bangku paling depan. Giant – nya eng dan Specialized – Isan, terparkir disana. Dua manusia berdengkul jin ifrit, ke Moko memakai sepeda. Ikut bergabung, saling memperkenalkan diri.
“ Ini Eng anak UNCAR juga.. nah yang jangkung ini Isan, sekampus sama aku ..”, Saya membuka.
“Ohh ini toh, Halo …..Eya”, menyodorkan tangan.
“Hai”, kata Isan. Gitu doang.
“halo, Rofi, panggil Eng juga boleh….. anak informatika yah? Kok jarang liat..”, Eng si pembenci basa basi beraksi.
“emang kamu informatika juga?” , Tanya Eya.
“bukan PGSD”, si Eng polos.
“Yah iyah atuh ari kamu gedung nya juga jauhan..”
“hehehe..”. Momen – momen seperti yang bikin Saya malu temenan sama Eng.
Sambil menunggu pesanan, Saya Solat ashar dulu, membiarkan ketiga orang itu berbaur. Eya sudah solat duluan pas sampai, Eya sudah tadi di rumahnya, kalau si Isan tidak solat, rekening atmnya masih penuh.
Menjelang magrib, lampu-lampu rumah yang jauh di bawah sana mulai dinyalakan. Walau, sunset tidak terlihat, namun warna oranye nampak di beberapa bagian, bias terhalang awan. Isan mulai mengenakan jaketnya. Eng sedang asyik membetulkan rem belakang sepedanya.
Pelayan datang membawa sepiring mie goreng Saya, semangkok mie rebus pesanan Eya, Sepiring mie goreng double pesanan Isan, dan 2 piring nasi goreng + 3 potong tempe + 2 paha ayam + kerupuk lima ratusan 4 biji pesanan si angry bird. Baru tahu Saya ada menu tempe sama ayam.
“luaapparrrr swepwedwahhann dwari kwooppoo keeswiinniii..”, Eng takut disindir. Bicara dengan mulut penuh nasi goreng. Padahal dalam kondisi normal pun, nasi dua piring sudah keharusan. Yang beda hanya jumlah lauknya saja.
Setelah makan, rutinitas wajib, merokok. Eng dengan Djarum Super-nya. Isan setia dengan Gudang Garam-nya, dan saya dengan apapun, kebetulan hari itu bawanya ClasMild. Lampu-lampu yang nyala makin banyak. Semakin dingin. Pohon-pohon pinus yang berjajar di belakang hampir tidak terlihat.
“Eh bro, nyadar gak , kalo lampu-lampu disana cerminan nilai orang..”, Eng mulai sok bijak.
“Maksud lo?”, Isan sambil memutar-mutar batang rokoknya. Ingat bukan batang yang lain.
“gini bro, kalo lo disana liat lampu biasa aja kali ya, tapi disini keren nyet, warna warni, kuning,putih, biru, hijau walo keliatan kecil…”
“So???” , Saya sambil membenarkan jaket.
“..Iya nyet kadang kalo kita berdekatan bareng orang terus menerus dengan hal-hal kecil yang kayanya biasa aje,, pas jauh baru deh nyadar kalo orang itu keren dan kita inget hal hal kecil itu sangat ngangenin….”
“iya di tempat gelaplah, nilai sebuah nyala korek begitu berarti..”, Saya berusaha menyederhanakan.
“Nah pinter murid gue..” Kamfrait
“kalo gua naek gunung, yang paling ditunggu ya liat pemandangan kota malem malemnya… dan tiap gunung punya view khas nya masing masing“ Isan ternyata nggak bisu.
“hahahha kalian kalo ngumpul ngobrol nya gini yah..” Eya gemas.
“yah beginilah, anak muda jangan bercanda mulu.. kadang kita membahas RUU pendidikan, bedah buku Filsafat, berdiskusi tentang Fikih dan Muamalah…”, Eng dengan mimic muka minta dikarungin.
“lah biasa juga bahas artis bokep paling bohay..” Isan gak tahan.
“hahhaha kocak kalian… kalian aneh dalam artian positif, susah loh nyari makhluk kaya kalian“, Eya entah benar memuji atau sarkastik. “ ih cewek suka tau sama cowo kaya kalian tuh, gak ngebetein..”.
Pedemeter Isan 125%, Saya 239%, dan Eng 1000%. Si Eng mah dihina atau dipuji juga tetap 1000%.
“Kenalin dong sama temen-temennya…”, kata Eng. Isan cuma diam. Diam tanda setuju.
“boleh boleh… “
Sementara Eng sibuk mencari jaketnya, Isan mencari kayu bakar. Eya mendekatkan tubuhnya. Berdampingan, menghalau semilir angin Hewan – hewan nocturnal meracau, Bandung semakin indah semakin malam.
Kayu dibakar. Percakapan semakin berkualitas. Terkadang mata saling pandang dengan serius, kadang mata berair akibat udara dingin dan lelucon kelas dewa. Raga hangat, begitu pun jiwa.
Ada hening yang sembunyi sembunyi sesekali hadir, di antara gempitanya suara pengunjung lain yang baru berdatangan.
“Makasih yah udah ngajak kesini..”, Eya berbisik sambil tangannya menggenggam cangkir kopi.
“Aku yang makasih, udah mau nemenin ngasuh 2 orang alumni RSJ”
“hahahaha..” Eya.
Isan yang duduk dekat kami hanya bisa melihat sinis, didalam hatinya pasti dia ngomong “Jep B@ngS4t, gua disebut alumni RSJ, lu masih ngulang ngulang mata kuliah semester 1 di RSJ”
======
Sekitar jam setengah Sembilan, kami pun pulang. Di parkiran, saya pamit duluan karena harus mengantar Eya. Eng dan Isan masih sibuk mengatur lampu sepedanya.
Kali ini, bahkan di jalan raya yang tidak naik turun, lengannya melingkar di perut saya.
“Jep, kamu jangan ajak aku ngobrol yah..kamu denger headset aja kalo bĂȘte mah”
“Iyah ..” . Walaupun, sebenarnya Saya pengen tanya kenapa.
Eya menghujamkan mukanya di punggung saya, lengannya makin erat. Jalan semakin dekat menuju antapani, di satu belokan, dari spion, sedikit terlihat matanya sembap.
Setelah sampai rumahnya, hanya pembicaraan sederhana dan salam biasa yang ada. Tanpa bertanya “kamu kenapa?”
Saya pun pulang, headset terpasang. Suara Carly Simon di telinga terdengar mendesau terkontaminasi klakson dan deru mesin kendaraan. Melibas jalan kota dengan hati menerka-nerka. Tadi Eya sembap nangis atau hanya kena angin dan debu saja yah? Hanya bisa bertanya pada rumput yang bergoyang, kalau kata Ebiet G Ade. Namun, bagaimana mungkin rumput mau menjawab tatkala dia sedang asyik bergoyang.
Masuk jalan Cikutra, lalu- lalang kendaraan tidak terlalu banyak, kini lirik lagu ditelinga terdengar lebih jelas.
“…Nobody does it better,
though sometimes I Wish someone could,
Nobody does it quite the way you do,
why’d you have to be so good?…”
Komentar
Posting Komentar