Koyo Cabe Ukuran A4 - Part 20


Backsound : Thule - "The Album Leaf" #Enjoy #StandarkeunHeula

Saya dan Eya pun mempercepat laju langkah, menyusul yang lain. Perjalanan semakin melelahkan, selain dari tadi berjalan gaya paha bertemu perut, stok air tinggal satu setengah botol besar, Kami harus moderat menggunakannya. Setidaknya, sampai bertemu dengan Isan dkk.

Sekitar Ashar, Saya kembali bertemu Isan dkk di pertemuan jalur Bayongbong dan Cikajang. Deretan pohon semakin merapat, beberapa kali trek terhalang pohon tumbang yang sudah berlumut. Saya pikir puncak sudah dekat. Di beberapa tanjakan, Kami harus dibantu uluran tangan yang lain, bahkan ada satu “anak tangga alam” ini yang mencapai sedada, Saya sampai harus melepas Carrier lebih dahulu. Di kanan-kiri, pohon cantigi sudah terlihat, ini menandakan kami berada di tempat yang cukup tinggi. Batu – batu besar juga semakin banyak.

Eya mulai kecapekan, Andri juga. Bila sudah terlihat lelah sekali, dari tadi daypacknya di bawa Isan. Hanya Eng yang terlihat masih ceria, meskipun dari saung tadi harus berjalan sambil menenteng jerigen. Kami pun beristirahat di pohon tumbang yang tidur di jalur. Suara-suara seperti burung atau ayam hutan sesekali terdengar.

“Eh bro kalo lagi gini kenapa ya gua suka kangen banget sama baso?”, Isan membuka topic.

“iya, aing juga sama, Bakso enak kali ya, gerimis gerimis gini, cabe nya yang banyak…”, Andri setuju.

“wah kalo di puncak ada tukang bakso, wah udah itu si mang nya masuk surga..juara”, Saya juga tiba-tiba pingin Bakso.

Di tengah semua lamunan itu, tiba –tiba Eng loncat seperti anak trenggiling mau divaksin.

“Ahhaaaa…”, Eng mengeluarkan bungkusan plastik berisi Baso mentah, lengkap dengan saos, kecap, dan sambalnya. Dia simpan bakso dkk tersebut di daypacknya. Dia bela-belain beli bakso mentah dari si Mas yang suka lewat kompleknya. Semua mata terharu melihat pemandangan itu. Disitulah, keadilan Tuhan muncul. Seorang yang diperebutkan oleh RSJ se-Indonesia, begitu cerdas dalam urusan seperti ini. Jika sampai detik ini bokap-nyokap Eng menyesal telah melahirkan Eng ke dunia, maka bonyok Eng akan lupa semua itu dan akan menangis haru penuh bahagia melihat anaknya begitu berguna.
“aing udah berpengalaman, kalo naek gunung pasti pengen baso, makanya bawa bahan bahan bakso… yaudah buruan jalan lagi biar cepet ngebakso..”, Eng selalu bersemangat.

Perjalanan dilanjutkan, Tubuh kembali bersemangat ketika kami tahu kami berjalan dengan tukang baso free-lance ajaib ini. “Bakso I’m cominggg….”

Hujan tidak Nampak di jalur menjelang puncak, kendati awan gelap. Kini, sepatu kami yang basah berganti menjadi coklat berlapis debu dan tanah. Sedikit aneh memang, padahal dari bawah tadi puncak ditutupi awan. Isan pindah jadi paling belakang. Eng, Bila, Eya, Andri, Saya, dan Isan; begitulah urutannya.

Isan iseng membuka HP dan me-loudspeakerkan music player-nya. Dari tadi Isan berniat mengeluarkan HP nya, namun suara jentik air beradu daun mengalahkan suara HPnya, HP China yang sengaja dibelinya karena suaranya yang keras dan baterenya tahan lama. Elton John menjadi mukadimah.

Blue jean baby, L.A. lady, seamstress for the band
Pretty eyed, pirate smile, you'll marry a music man
Ballerina, you must have seen her dancing in the sand
And now she's in me, always with me, tiny dancer in my hand
Jesus freaks out in the street
Handing tickets out for God
Turning back she just laughs
The boulevard is not that bad
Piano man he makes his stand
In the auditorium
Looking on she sings the songs
The words she knows the tune she hums
But oh how it feels so real
Lying here with no one near
Only you and you can hear me
When I say softly slowly

Hold me closer tiny dancer
Count the headlights on the highway
Lay me down in sheets of linen
You had a busy day today
Hold me closer tiny dancer
Count the headlights on the highway
Lay me down in sheets of linen
You had a busy day today

Saya pun bernyanyi mengikuti suara Isan yang fals, mirip adegan di film Almost Famous, ketika semua personil “Stillwaters” menyanyikan lagu ini di bus tur nya. Sesekali di bagian reff Eng mengikuti, dia hanya tahu reff nya saja. Eya, Bila, dan Andri, hanya senyum-senyum saja melihat "trio penyalahguna sabun" beraksi.

Jalanan kini terasa melingkar dengan batu-batu kecil yang cukup terjal. Kota di bawah sana bisa terlihat jelas. Di depan sana, Bila berlari menyalip Eng. Sedikit tanjakan kecil yang menggemaskan. Dan sang “ka’bah” pun terlihat. Bangunan tua terbengkalai bekas ruang control menara pemancar TVRI. Dulu di puncak Cikuray, ada tower TVRI, sekarang sudah tiada, dicuri residivis maling besi kiloan.

“Horeee…. Horee…. Beeeeyyyy ceppeeeettt siiinniiiii..”, Suara Bila menghentak. Saya sedang berkutat di tanjakan terakhir sambil pantat didorong-dorong Isan. Semua bergabung di depan Ka’bah, carrier saya taruh asal saja, saya bersandaran di tembok. Saya lihat Eya dan Bila sibuk berfoto-foto. Wanita memang seperti itu, sepanjang perjalanan seperti hendak melahirkan bayi kembar 3, dipuncak sini, mereka seperti babon belum disuntik rabies. Jam menunjukan pukul 17.08. Entah apa motivasi si Ibu di warung tersebut bilang jarak dari pos awal ke puncak 3 jam.

Eng langsung mengeluarkan alat perangnya, 2 kompor dinyalakan sekaligus. Kastrol dan misting-misting dikeluarkan, sejenak Saya pikir carrier Eng adalah Kotak Ajaib Doraemon. Kopi, Susu, dan minuman hangat lain tersaji dengan cepat. Sambil merokok, Saya mencari kayu bakar bersama Andri. Isan sibuk memasang tenda di dalam Ka’bah dibantu Eya dan Bila, hanya satu tenda yang muat, satu tenda lagi dipasang didepan Ka’bah. Jika hujan atau angin terlampau kencang, kami sepakat memindahkan tenda tempat lain yang terlindungi pohon-pohon.

Sore itu, matahari temaram agak sebelah selatan gunung Papandayan. Barisan pantai di selatan kota Garut terlihat jelas. Beberapa titik kota tertutupi awan putih, seperti kembang gula raksasa.

Setelah Bakso Mang Eng tersaji, semua berkumpul, melingkari api unggun. Indomie Soto curian stok Omar campur bakso Mang Eng begitu nikmat. Saya tiba tiba ingat surat Ar-Rahman, didalamnya ada pengulangan kata-kata. “Maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi, yang hendak kalian dustakan?”. Tuhan pun mesti mengulang-ngulang Ayat-Nya, Manusia memang super pelupa. Di puncak Cikuray kali itu, saya menolak lupa. Romantisme dan kehangatan tawa, tangis, canda, keluh, dan senyum mereka akan Saya ingat sampai kapan pun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Koyo Cabe Ukuran A4 - Part 4

Koyo Cabe Ukuran A4 - Part 19

Koyo Cabe Ukuran A4 - Part 18