Koyo Cabe Ukuran A4 - part 21


Backsound : Terbaik Untukmu - TIC Band #StandarHijiHeula #Enjoykans

Setelah berbincang-bincang santai nan aduhai, sesi makan roti ditemani secangkir kopi Kapal Api, dan melihat atraksi Eng debus; Kami shalat bergantian maklum alasnya Cuma ada 2, Saya shalat bareng Bila, Ohhh indahnya merajut tali kasih temporer bersama sang mantan terbohay dalam nuansa Syariah, Magrib jama qashar sama Isya. Dilanjut dengan Eya dan Andri, terakhir Eng dan Isan. Isan waktu itu ikut shalat karena uang sakunya habis dan dia belum beli tiket pulang kampung, bahkan dia shalat sunat.

Bagi orang-orang sebrengsek Saya yang shalatnya kadang nitip absen. Shalat berjamaah itu penting, 27 derajat coy! Sama aja dengan shalat sendirian 27 kali. Ya lebih bagus berjamaah, istiqamah, dan tepat waktu sih, tapi untuk sampai ke level itu butuh usaha lebih keras dari tektok Cikuray 5 kali sehari.

Kenapa jadi ngomongin solat, gue berasa pake sorban ama sarung sambil ngetik ini.

Menjelang pukul 9 satu persatu dari kami terserang kantuk, lelahnya perjalanan ditambah kurang tidur menyebabkan mata tidak fokus. Eng sudah bergumul di dalam tenda luar Ka’bah, disana juga Andri sedang mengatur nada ngorok yang pas. Tenda dalam diperuntukan untuk wanita. Eya sudah tidur duluan. Tinggal Saya, Isan, dan Bila; tidak ada pendaki lain hari itu, Cikuray serasa milik Kami.

Bila mulai kumat, dirinya merebahkan kepalanya di Paha kiri tanpa meminta izin Saya sambil bermanja ria, busyettt dahhh, untung Eya sudah di tenda. Isan sibuk mengatur nyala api. Ada momen ketika Isan mencari kayu bakar. Mata kami beradu, saling memandang jauh pada cermin hati tersebut, berkelabatan memori manis masa lalu di ubun-ubun, Saya tahu Bila sudah punya pacar lagi di Jogja, tapi matanya berkata sebaliknya. Mata yang sama ketika pagi hari saya menjemputnya ke sekolah, mata yang sama ketika dia tertawa menerima kado berisi colokan listrik di ultah ke 17-nya.

Tangan saya membekap pipinya seraya ibu jari mengusap-usap tenang. Bila menutup -buka matanya, bahkan saat mengantuk sekalipun dia tetap manis. Saya dekatkan bibir saya ke keningnya, dekat lengkungan jilbabnya. Hangat sekali, Bila hanya memejamkan matanya, berpura-pura tidur. Bibirnya sedikit terbuka, dan ada beribu kode yang mengundang. Okelah, saya pun…

Brakkk! Suara kayu dilempar…

“Anyeennggg, ada yang nepuk punggung gua Jep?”, Isan dengan muka pucat.

Maulana Ihsan Badjing###annnn…

Peristiwa itu cukup membuat sebagian dari kami bangun, Andri loncat kaget, Eya juga, untungnya posisi Bila sudah tidak rebahan lagi. Eng saja yang tidak ikut keluar. Hanya sebuah ungkapan yang terdengar dari tendanya.

“Yaudah suka kali sama lo San, sukur aja, manusia gak ada yang mau,, yang begonoan kek lumayan..” Sompral

Semua masuk tenda, api di matikan, dan kekencangan angin naik satu level. Saya kebagian posisi paling dekat pintu tenda, berhadapan dengan pintu ka’bah sekaligus tenda para gadis. Suara – suara hidung pria-pria seakan bermesin 2 tak, Andri yang sangat pendiam ternyata tidurnya tidak pendiam. Belum lagi Isan yang tidurnya kaya cacing nari india. Oh Tuhan, akhiri segala penderitaan ini.

“Beyy… beyyy…”, Bila apa lagi sih? Saya pura-pura tidur.”..beyy ..beyy.. anter pipis..”

Lama-lama kasian juga. “…hoahhh Iya bil… hayu..”

Berjalan menembus angin Cikuray yang dingin, headlamp dipasang. Sedikit berjalan turun ke arah timur, disana ada rimbunan pohon yang tidak terlalu pendek juga tidak terlalu tinggi.

“tuh disitu bil.. nih air nya bawa“

“okeh… ih senterin Bey , gelap tauuu..”

“iya bilatunggg..”,

“Ih kamu nyenterinnya jangan kesini , yang bener atuh…” . Saya niat iseng senterin bagian yang patut disensor

“hehehe iya iya sori… ngantuk barusan …”

Wosssshhhh…

Kami kembali ke tenda, setelah saya pikir yang barusan adalah siksaan terakhir, Bila mulai aneh-aneh..

“Bey tidur di tenda aku lah, takut ih, gelap..”, padahal tenda saya juga gelap. Entah ini Anugerah atau bencana. Tidur setenda dengan mantan dan calon sekaligus.

“Akhh udah pewe di sini, pake obat tidur aja..”

“Atuh bey lah plis, da aku gak bakal ngapapain..”

“Entar si Eya marah..”

“nggak kamu di pojok , aku di tengah..”, Ah mungkin benar Bila memang ketakutan gara-gara kejadian tadi.

Saya pun setuju. Saya di pojok, Bila ditengah, dan disana Eya, sedari tadi tidur menghadap tembok. Ternyata tenda perempuan tidak terlalu dingin, mungkin karena terhalang tembok Ka’bah. Saya dan Bila pun masuk ke sleeping bag, sleeping bag masing-masing maksudnya.

15 menit kemudian, Bila sudah tertidur, ternyata benar, Bila tidak mau ngapa-ngapain. Sekarang justru Saya yang pingin ngapa-ngapain. Agak aneh suasananya. Melihat dua perempuan tertidur di ruang yang sama. Saya pun keluar menunggu kantuk, mengorek-ngorek bara yang tertutup abu, Kayu disusun, dengan beberapa tiupan ditambah angin yang lumayan, api kembali menyala. Matras digelar, sleeping bag hanya sebagai penutup kaki. Hangat perapian cukup membantu, beberapa batang rokok dibakar. Bintang – bintang terlihat kemerlap seperti cermin raksasa yang memantulkan lampu-lampu rumah di bawah sana.

Tidak ada perasaan takut sedikitpun, yang ada kekaguman dan damai yang langka sekali ditemui di keseharian. Kayu – kayu dilempar menyusul kayu yang sudah terbakar, seteguk air, kupluk diturunkan menutup mata, dan angin sudah tidak terlalu kencang. Saya pun terlelap ditonton milyaran bintang dan nyamuk.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Koyo Cabe Ukuran A4 - Part 4

Koyo Cabe Ukuran A4 - Part 19

Koyo Cabe Ukuran A4 - Part 18